Jakarta 2039

Cerita bergambar berdasarkan kejadian pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa pada kerusuhan 13-14 Mei 1998. Satu minggu sebelum Soeharto lengser setelah 32 tahun berkuasa. Terdapat tiga cerita yang keseluruhannya berlatar waktu 40 Tahun 9 bulan setelah tragedi kemanusiaan tersebut, dengan masing-masing cerita saling terkait satu sama lain. Cerita ini menyampaikan bahwa dampak perkosaan itu luas.

Cerita pertama berjudul "Ternyata Aku Anak Hasil Pemerkosaan." Cerita tentang derita seorang perempuan yang baru tahu bahwa ia adalah anak hasil pemerkosaan saat usianya menginjak 40 tahun. Ia mendapati kenyataan bahwa "dibuang" di sebuah panti asuhan oleh ibunya karena kelahirannya tak diinginkan. Sejak tahu ia adalah anak hasil pemerkosaan, ia merasa telah lahir kembali dengan sebuah kutukan. Seperti meruntuhkan dunia yang dikenalnya selama 40 tahun. Cerita ini memberitahukan kepada kita bahwa rasa sakit akan perkosaan tidak hanya dirasakan perempuan korban perkosaan itu sendiri tapi juga oleh buah hasil pemerkosaan. Dalam hal ini: anak. Selalu ada korban dibalik korban.

Cerita kedua berjudul "Di Manakah Kamu Anakku?." Dilema seorang perempuan korban perkosaan. Antara perasaan tersiksa karena pernah diperkosa dan perasaan bersalah telah "membuang" anak hasil pemerkosaan. Dari cerita ini rasa sakit, luka, jijik, dihantui perasaan bersalah yang mendalam akan selalu membekas dan sulit dilupakan. Selama 40 tahun! Seperti kenangan buruk yang membayangi dalam setiap kedipan mata. Apalagi jika sampai mengandung anak hasil pemerkosaan. Perasaannya seperti mengandung anak iblis. Itu tidak hanya tergambar dari cerita ini, saya pun pernah mendengarnya sendiri dari korban perkosaan. Luka fisik bisa disembuhkan, tapi luka psikologis sulit dimusnahkan. "Ingatan, kenapa manusia mempunyai ingatan? Bahkan lupa macam apapun tidak pernah bisa menghapus kenyataan bahwa aku pernah diperkosa, ditindas, dihina, dilecehkan." (hal. 35) Berbagai cara dilakukan, namun tak dapat menghapus kenyataan pahit yang tak tertanggungkan: Ia adalah korban perkosaan.

Cerita ketiga berjudul "Nak, Ayahmu Ini Seorang Pemerkosa." Tentang seorang kakek tua renta di sebuah rumah di perkampungan kumuh. Ia dirawat oleh anak perempuannya. Anaknya mengenal ayahnya sebagai pekerja keras yang sanggup membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Tapi menjelang ajalnya tiba ia menceritakan bahwa ia, 40 tahun lalu, turut memperkosa seorang perempuan dalam kerusuhan Mei '98. Mudah saja baginya bercerita. Seperti melepaskan beban yang tertanggung selama 40 tahun. Namun kenyataan itu diterima lain oleh sang anak yang juga seorang perempuan. Ia sakit mendengarnya. Ia menderita karena dapat merasakan luka hati seorang perempuan yang diinjak-injak harga dirinya. Ia kecewa terhadap ayahnya sendiri. Setelahnya, ia akan mengingat kenyataan itu yang akan mempengaruhi hidupnya. Kenyataan bahwa ayahnya adalah pemerkosa. Ada korban dibalik pelaku.

Perkosaan adalah kejahatan kemanusian. Sudah selayaknya pelaku diganjar hukuman berat. Sayangnya di Indonesia ini ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan paling lama 12 tahun (KUHP pasal 285) . Tidak setimpal dengan penderitaan korban yang dirasakannya sampai seumur hidup! Bahkan dibeberapa kasus, korban justru dinikahkan dengan pemerkosa! Bayangkan, jika kita harus tinggal seatap dengan pemerkosa! Padahal banyak hal yang tidak dapat dikembalikan dari perkosaan. Baru-baru ini, Indonesia heboh dengan berbagai kasus perkosaan di angkutan umum juga oleh sopir angkot. Dalam 6 bulan terakhir ini, Agustus 2011-Januai 2012, yang saya telusuri sendiri dalam berita elektronik telah terjadi 8 kasus perkosaan. 6 kasus terjadi di angkutan umum dan 4 kasus dilakukan oleh sopir angkutan umum. Ini menunjukan masih terjadi krisis ruang aman bagi perempuan. Entah ada apa. Mungkin terlalu dini jika dikaitkan dengan pergolakan politik yang sedang terjadi di Indonesia.

Lebih memprihatinkan lagi, masih adanya pandangan negatif terhadap korban perkosaan oleh masyarakat dan agama. Korban dikucilkan, dianggap sampah masyarakat, dan cenderung menyalahkan korban sebagai pengundang syahwat. Sehingga korban dianggap tidak berharga lagi sebagai manusia. Tidak hanya itu, perlakuan terhadap korban oleh aparat penegak hukum juga tidak berpihak kepada korban dan tidak menjaga kondisi psikologisnya. Misalnya, saat penyidikan korban diminta menceritakan kembali dengan detail kejadiannya. Bak diperkosa untuk kedua kalinya. Diperparah dengan ulah media yang seringkali menyudutkan perempuan dengan . Sedangkan payung perlindungan bagi korban perkosaan tidak ada. Tidak cukup jika mengandalkan KUHP (pasal 285, 286, 287 ayat 1 dan 2, 291 ayat 1) sebagai pijakan jeratan hukum bagi pelaku.

Oh ya, seperti disebut di atas, latar waktu cerita bergambar ini adalah 40 Tahun 9 bulan 14 setelah kerusuhan Mei yakni 14 Februari 2039. Ya, saya agak mengambil momen 14 Februari ini untuk membaca buku dan mengangkat isu dengan meresensinya. Sebab, kita tahu bahwa setiap tanggal 14 Februari dunia merayakan hari kasih sayang. Tua. Muda. Hari saling berbagi rasa cinta dan sayang yang ditunjukan dengan beragam simbol seperti coklat, bunga, aksesoris berwarna pink, dll. Tak jarang perayaan ini kerap disertai dengan berhubungan seks sebagai lambang bersatunya cinta dalam keabadian (katanya). Yang luput adalah disadari atau tidak berhubungan seks ini kerap diawali dengan bujuk rayu dan pemaksaan oleh pasangan, terutama oleh laki-laki. Dengan mengatasnamakan romatisme dan cinta, perempuan (terutama remaja) kerap kali dengan terpaksa mau melakukannya. Itulah dating rape! Perkosaan dalam pacaran. Yang seringkali tidak disadari korban. Karena terjadi saat cinta sedang membara dan menganggap bahwa pacar kita adalah segalanya sehingga rela diperlakukan atau melakukan apapun. Sehingga tidak bisa membedakan mana cinta mana kekerasan. Baru akan terasa sakit dan pahit jika setelahnya kita ditinggalkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban (ingkar janji).

Ya, momen ini pun kembali menjejakan kaki saya bahwa cinta haruslah tanpa paksaan. Tidak ada kekerasan dalam cinta. Jika sudah ada kekerasan, apalagi pemerkosaan, segera putuskan dan laporkan. Kita berhak atas tubuh dan jiwa kita sendiri. Berani menolak dan berkata TIDAK.

Lalu, apa hukuman yang pantas bagi pelaku perkosaan? Di kebiri? Dihukum mati? Dihukum 1000 tahun? Bagi saya rasanya masih belum pantas. Setiap kali menonton/membaca berita tentang pemerkosaan, hati saya berteriak: BIADAB!




owl
yang ikut merayakan hari kasih sayang

0 comments:

Post a Comment